Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku, kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki.
Lalu, atas dasar apa aku harus kecewa padamu?
Dengan alasan apa aku perlu marah padamu?
Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata.
Akulah yang harus membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah. Karena kau insan, bukan malaikat.
Maafkan aku istriku, kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumah tangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridhoan Allah azza wa jalla.
Segala puji hanya untuk Allah azza wa jalla yang telah memberikanmu sebagai jodohku.”
Tanpa terasa air mata Amin menetes deras di kedua pipinya. Dadanya terasa sesak menahan isak tangis.
Segera ia berbaring di sisi istrinya pelan-pelan. Tak lama kemudian ia pun terlelap.
***
Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali.
Aminah, istri Amin, terperanjat
“Astaghfirullaah, sudah jam dua?”
Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya. Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.
“Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek, sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?” gumamnya dalam hati.
Mau dibangunkan nggak tega, akhirnya cuma dipandangi saja. Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hatinya yang bicara.
“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku. Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku. Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di pundakmu.
“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang menghampiriku. Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau sediakan dadamu untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin melindungiku.
“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.
“Lalu, atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu? Seberapapun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu.
Jika kau belum sepandai da’i dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal shaleh membanggakanku.
Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah azza wa jalla serta membahagiakanku.
“Maafkan aku wahai suamiku, akupun akan memaafkan kesalahanmu.
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah azza wa jalla yang telah mengirimmu menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah azza wa jalla. Aku akan patuh kepadamu untuk menjemput ridho-Nya..”
Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota’ayun waj’alna lil muttaqina imama. [Artikel ini disadur dari grup WA Mu’amalah Syar’iyyah dengan beberapa perubahan]