Bagi pasangan suami-istri, terutama pihak suami, malam Jumat itu “keramat”. Kenapa-kenapa-nya tentu saja, karena ada anjuran Sunnah untuk berjima di malam ini. Dalam sunnah, ada kewajiban. Dalam kewajiban ada sunnah. Sungguh indah Islam! Lebih dari itu, dalam kewajiban dan sunnah tersebut, ada kenikmatan syahwat dunia yang halal. Halal, tentu artinya berpahala.
“Suami wajib menjimak istrinya sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan,” kata Ibnu Hazm, “kalau tidak, berarti ia durhaka terhadap Allah.”
Jika Ibnu Hazm berbicara tentang kewajiban jima bagi suami istri, Imam Al Ghazali menjelaskan mengenai kepatutannya.
“Sepatutnya suami menjimak istrinya pada setiap empat malam satu kali. Ini lebih baik,” kata ulama bergelar hujjatul Islam itu. Namun, Al Ghazali tidak memaknai batasan itu secara kaku. “Bahkan sangat bijaksana kalau lebih dari sekali dalam empat malam, boleh pula kurang dari itu, sesuai kebutuhan istri.”
Lalu jika perlu memilih hari dalam jima, adakah keutamaan malam Jum’at dibandingkan malam-malam lainnya? Dalam hal ini, hadits yang sah dijadikan rujukan adalah riwayat Tirmidzi nomor 496, An-Nasai 3/95-96, Ibnu Majah nomor 1078, dan Ahmad 4/9. Hadits-hadits itu senada, yang terjemahnya sebagai berikut: