Berulang kali saat diwawancarai SURYA.co.id, Samanto mengatakan ingin pulang ke kampunnya.
“Sirna sudah harapan saya untuk berlebaran dengan anak dan cucu. Saya merindukan momen sungkeman, merasakan suasana lebaran bersama keluarga, tapi saya malah dibuang,” ucap Samanto.
Pria yang memakai kopyah putih ini kembali teringat manakala putrinya yang memperlakukan tidak baik, masih tumbuh menjadi gadis kecilnya.
“Dulu meskipun kami pas-pasan dengan gaji saya yang hanya petugas keamanan pabrik makanan ternak, saya belikan dia sepeda, dia senang. Saat dia sakit, saya dan ibunya sibuk ke rumah sakit mengurus dia, dan saat ia menangis saya gendong menggunakan jarik (selendang) saya dekap agar dia tenang,” ujar Samanto sambil kembali berlinang air mata.
Saat dirinya sakit, anaknya menyuruh Samanto hanya berdiam dalam rumah.
“Dia malu lihat saya keadaan begini, malu dengan tetangga, malu dengan temannya. Kalau adiknya baik kepada kami (orang tuanya), tapi ia cuma buruh tidak bisa membantu kami. Memang anak saya yang pertama itu sekarang sudah menjadi istri pemborong di Nganjuk, ya saya nurut tetap didalam kamar saja,” papar Samanto.
Saat dirinya sakit, hanya keponakannya yang merawatnya.
“Tidak hanya pada kami orang tuanya, pada mertuanya pun dia kurang baik,” ucap Samanto.
Sambil matanya menerawang, Samanto mengatakan jauh di dalam lubuk hatinya, ia sudah memaafkan anaknya.
“Saya selalu mendoakan dia. Saya rela hanya di dalam kamar saja, asalkan dia mau menjemput saya di sini, saya ingin pulang berkumpul bersama cucu-cucu di rumah, saya ingin pulang,” ujar Samanto sambil menangis.